Kamis, 15 Maret 2012

Preeklampsi


Preeklampsi

1.    Penyebab preeklampsia
     Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana adalah megidentifikasi wanita yang beresiko atau mereka yang menunjukkan gejala. Kondisi yang dihubungkan dengan preeeklampsia adalah sebagai berikut :
a.    Nuliparitas
b.    Penyakit trofoblastik (70% terjadi pada kasus mola hidatidosa)
c.    Kehamilan kembar, tanpa memperhatikan paritas
d.    Riwayat penyakit :
1)    Hipertensi kronis
2)    Penyakit ginjal kronis
3)    Diabetes mellitus pra-kehamilan
e.    Riwayat preeklampsia atau eklampsia dalam keluarga
f.     Riwayat preeklampsia sebelumnya
g.    Nutrisi jelek
h.    Ibu dengan obesitas

2.    Patofisiologi preeklampsia
      Patifisiologi preeklampsia setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan. Pada kehamilan normal dinding spiral arteri di invasi oleh sel-sel trofoblas dan membentuk suatu saluran yang berkelok-kelok yang berfungsi untuk membawa sejumlah besar darah ke dalam celah intervillus yang mengakibatkan penurunan tahanan perifer.
       Pada kasus preeklampsia terdapat keadaan tidak adekuatnya invasi dari spiral arteriol oleh sel-sel trofoblas sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan utero plasenta. Pada proses lanjut hal ini menyebabkan kerusakan endothelium pembuluh darah.dan selanjutnya terjadi vasokonstriksi. Vasokonstriksi  menyebabkan  volume plasma yang beredar menurun dan timbul hemokonsentrasi. Sebagai kompensasinya terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga pada akibat lanjut mengakibatkan terjadinya edema. Selain itu vasokonstriksi juga menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun sehingga terjadi gangguan filtrasi glomerulus. Kerusakan glomerulus inilah sehingga senyawa albumin bisa lolos dan terdapat dalam urin.
     Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi, jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.



 
3.    Komplikasi
     Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia. Koplikasi yang tersebut di bawah ini bias any aterjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia .
a.    Solusio plasenta
b.    Hipofibrinogenemia
c.    Hemolisis 
d.    Perdarahan otak
e.    Kelainan mata
f.     Edema paru-paru
g.    Nekrosis hati
h.    Sindrom HELLP
i.      Kelainan ginjal
j.      Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin

4.    Pencegahan
     Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini preeklampsia dan dalam hal ini harus dilkukan penanganan yang semestinya. Kita perlu lebih waspada akan timbulnya preeklampsia dengan adanya factor-faktor predisposisi seperti yang telah diuraikan di atas. Walaupun timbulnya preeklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberin penerangan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil.
     Penerangan tentang manfaat istitrahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti erbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring.

5.    Penatalaksanaan preeklampsia
a.    Preeklampsia ringan
Kehamilan kurang dari 37 minggu
Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
1)    Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuri), reflex dan kondisi janin
2)    Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia
3)    Lebih banyak istirahat
4)    Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
5)    Tidak perlu diberi obat-obatan
Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :
1)    Diet biasa
2)    Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan urin (untuk proteinuri) sekali sehari
3)    Tidak perlu diberi obat-obatan
4)    Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut
5)    Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan:
a)    Nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsia berat
b)    Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin, keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat
c)    Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali
6)    Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan observasi kesehatan janin
7)    Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak rawat sampai aterm
8)    Jika proteinuri meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat
Kehamilan lebih dari 37 minggu
1)    Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin
2)    Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter foley atau lakukan seksio sesaria.

b.    Preeklampsia berat
1)    Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak terjadi.
2)    Penanganan umum :
a)    Jika tekanan diastolic tetap ≥ 110 mmHg,berikan obat anti hipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100 mmHg
b)    Pasang infuse dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar)
c)    Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan
d)    Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuri
e)    Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin
f)     Observasi tanda-tanda vital, reflex, dan denyut jantung janin setiap jam
g)    Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
h)   Hentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretic misalnya furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada edema paru

3)    Penanganan kejang dengan pemberian antikonvulsan Magnesium Sulfat (MgSO4) dengan dosis :
a)    Sebelum pemberian MgSO4 periksa :
(1)  Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit
(2)  Reflex patella (+)
(3)  Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
b)    Siapkan antidotum :
(1)  Jika terjadi henti napas lakukan ventilasi dengan menggunakan masker dan balon ventilator
(2)  Beri kalsium glukonat 1 g (20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.
c)    Dosis awal :
(1)  MgSO4 4 g IV dalam larutan 40% selama 5 menit
(2)  Segera dilanjutkan dengan pemberian 10 g larutan MgSO4 50%, masing-masing 5 g di bokong kanan dan kiri secara IM dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada semprit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4.
(3)  Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO42 g (larutan 40%) IV selama  menit.
d)    Dosis pemeliharaan :
(1)  MgSO4 1-2 g / jam per infuse, 15 tetes/menit atau 5 g MgSO4 IM tiap 4 jam.
(2)  Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pasca persalinan atau kejang berakhir.
e)    Hentikan pemberian MgSO4 jika :
(1)  Frekuensi pernapasan < 16 x/menit
(2)  Refles patella (-)
(3)  Urin < 30 ml/jam dalm 4 jam terakhir
4)    Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam IV dengan resiko terjadinya depresi pernapasan neonatal. Pada dosis tunggal tidak menimbulkan depresi pernapasan.kecuali jika pemberian secara terus menerus secara IV
a)    Dosis awal diazepam :
(1)  Diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit
(2)  Jika kejang berulang ulangi dosis awal
b)    Dosis pemeliharaan :
(1)  Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan Ringer Laktat per infuse
(2)  Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam
(3)  Jangan berikan > 100 mg/24 jam
c)    Pemberian melalui rektum
(1)  Jika pemberian IV tidak mungkin, diazepam dapat diberika per rectal dengan dosisi awal 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum
(2)  Jika kejang tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam atau lebih, tergantung pada berat badan pasien dan respon klinik pasien

Referensi :
Saifuddin AB. 2006. Buku Acuan Maternal dan Neonatal. YBPSP. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar